HONG Kong merupakan negara semimerdeka penganut ideologi liberal (masyarakat yang bebas), berbeda dengan Cina yang komunis. Agama yang dianut masyarakat Hong Kong pun beragam. Budha dan Taoisme adalah agama dominan yang menjadi kepercayaan penduduknya secara turun-temurun. Kemudian disusul Protestan dan Katolik yang dipengaruhi oleh kekuasaan Inggris (British Hong Kong) selama 156 tahun (1841-1997).
Adapun agama Islam, Hindu, dan Sikh dianut oleh masyarakat pendatang atau imigran yang saat ini sudah menjadi warga negara Hong Kong.
Beberapa masjid besar dengan mudah bisa dijumpai di pusat keramaian Hong Kong, seperti Masjid Kowloon di Nathan Road atau Masjid Ammar di Wanchai Oi Kwan Road. Satu hal yang membuat saya kagum di sini adalah kuatnya budaya shalat jamaah umat muslimnya.
Jangan heran jika di masjid-masjid akan terdengar dua kali azan setiap waktu shalat. Azan pertama dan kedua berselang satu jam. Ini berarti bahwa azan pertama untuk jamaah gelombang pertama, sedangkan azan kedua untuk jamaah gelombang kedua.
Azan hanya akan terdengar di dalam masjid karena muazin tidak diperbolehkan menggunakan toa seperti di negara-negara mayoritas muslim.
Untuk musim panas seperti saat ini, azan Zuhur dan jamaah pertama biasanya sekitar pukul 13.00, sedangkan azan dan jamaah kedua sekitar pukul 14.00. Bagi yang tak sempat shalat Zuhur berjamaah pada kesempatan pertama–karena hal-hal yang tak bisa dihindari– kebanyakan akan menyempatkan waktu untuk shalat Zuhur berjamaah di gelombang kedua.
Jikapun ada hal-hal yang harus diburu dan tidak sempat menunggu jamaah kloter kedua, maka mereka akan membuat jamaah kecil sendiri, terdiri atas beberapa orang saja.
Begitu pula dengan waktu asar, azan, dan jamaah pertama sekitar pukul 16.00 dan kedua sekitar pukul 17.00. Untuk shalat Isya, azan dan jamaah pertama sekitar pukul 20.00 dan kedua sekitar pukul 21.00.
Selain shalat lima waktu, shalat Jumat biasanya juga dilakukan dua gelombang. Hal ini disebabkan selain kesibukan “gila” masyarakatnya yang tak bisa dihindari, juga disebabkan ruang ibadah yang tak mampu menampung banyaknya jamaah untuk shalat sekaligus.
Budaya shalat jamaah ini bukan hanya terjadi di kalangan umum saja, tetapi juga di kalangan mahasiswa. Hampir semua kampus di Hong Kong memiliki praying room (ruang ibadah) yang dialokasikan untuk semua agama. Namun, tentu yang dominan menggunakannya adalah mahasiwa muslim karena waktu ibadah muslim lebih banyak dibanding yang lain, lima waktu sehari semalam. Untuk kalangan mahasiswa, waktu shalat berjamaah sangat fleksibel dan disesuaikan dengan kesepakatan dalam grup WhatsApp. Hal ini dikarenakan waktu kuliah mahasiswa berbeda-beda dan waktu shalat pun harus disesuaikan dengan jadwal ke luar kelas atau lab.
Mahasiwa yang akan melaksanakan shalat akan bertanya dalam grup WhatsApp siapa saja yang akan melaksanakan shalat pada jam sekian atau siapa saja yang akan melaksanakan shalat dalam waktu dekat agar bisa bersama-sama. Biasanya setiap gelombang jamaah sebanyak tiga sampai lima orang, atau kadang-kadang hanya dua orang saja.
Pendeknya, shalat jamaah seperti sudah menjadi suatu kewajiban bagi muslim Hong Kong yang kebanyakan imigran dari Pakistan, Afrika, dan Cina. Ada perasaan kecewa dan sedih terlihat di wajah mereka ketika terpaksa harus shalat sendiri karena yang lain sudah selesai berjamaah. Sebegitu sakral dan wajibnya shalat berjamaah bagi mereka. Mereka akan berusaha mencari atau menunggu kawan yang lain agar bisa berjamaah, meskipun hanya jamaah berdua saja.
Jika dibandingkan dengan Aceh, kesibukan masyarakatnya tentu masih kalah jauh dan belum apa-apanya jika dibandingkan dengan kesibukan “gila” masyarakat Hong Kong. Namun, masyarakat muslim minoritas Hong Kong masih sempat-sempatnya berpikir untuk bisa shalat berjamaah meski hanya berdua saja. Semoga hal ini menjadi contoh dan pelajaran berharga bagi kita semua, terutama yang bermukin di negeri yang komunitas muslimnya justru mayoritas. Amin.
Sumber: Tulisan ini dimuat pada Harian Serambi Indonesia (12 Juni 2017)